Masih juga kami kenangkan
bagaimana engkau melangka tegap
merambah rimba belantara
menggetarkan keheningan malam-malam yang
mendebarkan
ketika butiran peluru panas berhenti mendesing
kemudian jatuh satu-satu
di ujung jari-jari kakimu
Bagaimana langtang teriakmu menggema sampai
ke langit
menyulut suluh perjuangan
mengalirkan darah pernuh harapan
kedalam darah saudara-saudaramu
yang rindu jejak arah perjalanan
Hari ini pun kami kenangkan
bagaimana desah nafasmu menggelombang
pecahkan batu-batu karang di laut mimpimu
Bagaimana tentara NICA menghadangmu di tepi
pantai
mematahkan kemudi
lalu menyeret perahu yang engkau tumpangi
ke pasir hitam yang begitu asing
Tak mampu kami bayangkan
bagaimana kedua matamu membersit bunga-bunga api
dan otot sekujur tubuhmu terbakar tegang
ketika jauh di luar jeruji besi
engkau tahu
khianat Westerling dengan pasukan baret merah
telah tuntas merebahkan saudara-saudaramu
mirintih
di mulut-mulut bayonet
Saat ini kami catatkan kembali
ketika engkau pekikkan nurani kemerdekaan:
“kupilih mati berkalang tanah
kalau mesti hidup dijajah”
detik inipun kami renungkan
di saat bunda pertiwi terbebas dari cengkeraman
dan kemerdekaan telah menempel di kening
engkau pun
abadi
dalam hening.
Makassar, 1983
2 komentar:
puisi yang betul** menggugah nurani
dimn saat ini rkyt blukumba mngkin sdh agak lupa dngn sosok phlawan nasional ini.
inimi puisi yg kucari zlma ini
maksh kanda
Posting Komentar