The word pearl

"Saya lebih takut kepada Seorang Penyair,
Daripada Seribu Tentara Komando"

(Morsye Dayan)

Tentang Penyair


MAHRUS ANDIS,  nama lengkap Drs. H. Andi Mahrus Syarif, M.Si. Lahir diponre, Gantarang Bulukumba, 20 September 1958. Menyelesaikan SR (SD), SMP dan SMA ditanah Kelahirannya, Melanjutkan Kuliahnya di Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Hasanuddin Makassar, selesai 1984. Magister Sains (S2) Administrasi Publik STIA-YAPPAN Jakarta. Sejak 1986, Mahrus tercatat sebagai Pamong Praja di Pemda Bulukumba. Beberapa jabatan pernah digeluti. Diawali sebagai Kasubag Penerangan Humas, Kasubag Persidangan Setwan, Kaseksi Gedung-Bangunan Diknas, Kasubag Ortala, Anggota DPRD, Kabag Hukum, Camat Ujung Bulu, Kasubdin Sosteklinmas, Kaba Organisasi dan Tata Laksana, Asisten III Bidang Administrasi (Merangkap Plt.Sekretaris Daerah) dan saat ini sebagai Asisten I Bidang Pemerintahan dan Kesra pada sekretariat Daerah Kabupaten Bulukumba.
Meskipun Sibuk di dunia birokrasi, namun suami Hj.Andi Ruhaya, Spd dan ayah dari dua orang Putra ini, tetap menulis.  Dua bukunya diterbitkan Pustaka Refleksi, masing-masing Berjudul: Kumpulan Puisi Panrita Lopi (2007), Katarsis Birokrasi (2009) dan Matahari yang Kemarin adalah Matahari Bulukumbaku yang Beringas (2006) (Diterbitkan La Macca Press).  Pada 2004, Memperoleh Celebes Award dari Gubernur Sulawesi-Selatan di bidang Karya Sastra.

Catatan Harian Seorang Aparat


Kemarin Aku Terlambat
jam dinding pukul tujuh lewat
meski paham benar seorang aparat
masuk kantor haruslah tepat

“Mengapa terlambat ?”
bentak pimpinan sekretariat
suaranya berat
tidak bersahabat

“Jika besok masih terlambat
DP-3mu akan cacat
kariermu terhambat
dan tertunda naik pangkat”

Suara pimpinan sekretariat kian pekat
tapi aku tidak pucat
karena di dalam buku harian telah kucatat:
hari ini aku terlambat
besok  juga terlambat
lusa masih terlambat
karena memang sudah isyarat
aparat yang sering-sering terlambat
apalagi punya lidah berbakat
pandai bersilat
terampil menjilat
akan cepat
menjadi pejabat

                                                          Bulukumba, 1993

Sesudah Itu


Engkau melihat sehamparan langit pagi
matahari menggelinding di atas kepalamu
sesudah itu
senja mengantarnya ke punggung bukit

Engkau melihat segaris langit malam
bulan mengirim senyum ke dinding kamarmu
sesudah itu
mimpimu lelap mendengkur

Engkau melihat burung melintas dicakrawala
berkelepak menapak arahnya
sesudah itu
menghilang ditelan awan

Engkau melihat orang mati
terlentang di ruang tengah rumahmu
sesudah diberi dupa
sesudah dimandikan
sesudah dikafani
sesudah disembahyangi
ramai-ramai diusung menuju kuburan

sesudah itu,
dikeluarkan dari keranda
sesudah itu,
disurukkan kedalam liang
sesudah itu,
ditimbuni dengan tanah
sesudah itu,
dibungai rupa-rupa
sesudah itu,
dibacakan doa-doa
sesudah itu
giliranmu
barangkali !
                                                          Makassar, 1984

Kepada Pahlawan Andi Sulthan Daeng Radja


Masih juga kami kenangkan
bagaimana engkau melangka tegap
merambah rimba belantara
menggetarkan keheningan malam-malam yang
mendebarkan
ketika butiran peluru panas berhenti mendesing
kemudian jatuh satu-satu
di ujung jari-jari kakimu

Bagaimana langtang teriakmu menggema sampai
ke langit
menyulut suluh perjuangan
mengalirkan darah pernuh harapan
kedalam darah saudara-saudaramu
yang rindu jejak arah perjalanan

Hari ini pun kami kenangkan
bagaimana desah nafasmu menggelombang
pecahkan batu-batu karang di laut mimpimu

Bagaimana tentara NICA menghadangmu di tepi
pantai
mematahkan kemudi
lalu menyeret perahu yang engkau tumpangi
ke pasir hitam yang begitu asing

Tak mampu kami bayangkan
bagaimana kedua matamu membersit bunga-bunga api
dan otot sekujur tubuhmu terbakar tegang
ketika jauh di luar jeruji besi
engkau tahu
khianat Westerling dengan pasukan baret merah
telah tuntas merebahkan saudara-saudaramu
mirintih
di mulut-mulut bayonet

Saat ini kami catatkan kembali
ketika engkau pekikkan nurani kemerdekaan:

“kupilih mati berkalang tanah
 kalau mesti hidup dijajah”

detik inipun kami renungkan
di saat bunda pertiwi terbebas dari cengkeraman
dan kemerdekaan telah menempel di kening
engkau pun
          abadi
                   dalam hening.

                                                                   Makassar, 1983

Sajak Panrita Lopi


Sesaji Jampi
serimbun pohon kutebang
aku rebahkan peluh di bibir gelombang
di lunas perahu
aku pahat liang lahad

          a…..
                   i…..
                             u…..
Eeeeiii… ellallaa… ellallaaaaa…
panre patangara’ pasombala’na Bira
pabassi’ pasingkolo’na Ara
pabingkungna lemo-lemo
Eeee……


Setapa doa kusapa segala bala
kupukau pulau kugalang karang
kulambai badai
sampai surut isyarat laut
menebar bangkai
nahkoda sawi ketepi
pantai.

                                                          Bulukumba, 1988


Bukit Pattowengang


Tiga ribu hektar tanah leluhur
yang dulu merimbun hijau
menyanyikan matakali
merengkah di lahan hatiku

Pohon-pohon arang
meredam tangis burung enggang
pilu ceruk-ceruk gua

Mereka putuskan pembuluh darahku
sungai kecil berliku
tak lagi memantulkan wajah matahari
di dahan berlumut

Mereka sekap segala firman
mereka bending mata air
menjadi kolam air mata
luruh daun-daun jati
perihnya meranggas
di ladang anak cucuku.

                                                          Bulukumba, 1988

Bialo


Tiba-tiba aku merindukan
nyanyian jangkrik di antara ilalang dan bunga-bunga
rumput
atau celepak kodok
berkejaran di antara busa air dan
lumut kerikil

tapi bongkahan batu gunung
terasa nyaring menjejal sunyinya
tanpa hulu tanpa muara

ah, Bialo
kemana engkau hanyutkan
bayang-bayang masa kecilku ?

                                                          Bulukumba, 1999

Batti-Batti Tanah Anrongku Rambang-Rambang Bulukumbaku



Aku lahir dari perut bumi yang damai
sungai, laut dan bukit yang hijau
menawarkan sejuknya ke muara rinduku
         
Batti-batti tanah anrongku
          rambang-rambang Bulukumbaku
          anak perahu menyandang sauh
          menebar rindu ke dasar pulau

Aku menapak pematang yang basah
bisik daun-daun jati
menyeduh keramahan matahari di langit putih

          Batti-batti tanah anrongku
          rambang-rambang Bulukumbaku
          bagai perawan meniup tungku
          mengepul asap ke diam hening-Mu

Bertahun-tahun kupacu perahu kembara
asin keringat laut, tegarnya  sukma karang
digenggam kemudi syahadat kukalung jimat
sejumput bumi leluhur

          Batti-batti tanah anrongku
          kelong-kelong panrita lopi
          dewata juragan hambalah sawi
          Bulukumbaku gelombang berzikir

                                                                   Bulukumba 1988